Ingin
rasanya dalam perjalanan pulangku malam ini sebuah mobil menabrakku. Kepalaku
menghantam aspal dan aku tersungkur di jalanan. Darah mengucur deras dari
pelipisku, mengalir mengikuti alur tanah yang sudah tidak rata dari sananya.
Mobil
yang menabrakku langsung tancap gas meninggalkan TKP, takut jika harus
bertanggung jawab. Lalu orang – orang mengerumuniku, membawaku menyingkir dari
tengah jalan yang mendadak macet karena kejadianku barusan.
Datanglah
polisi dengan pistol di pinggang mengamankan segala hal yang ada kaitannya
dengan kecelakaan. Saksi mata bersaksi, pertanyaan – pertanyaan penting
diajukan.
Sirine
ambulan meraung – raung dengan aku di dalamnya. Tepatnya dengan aku yang
berlumuran darah di dalamnya.
Bau
karbol menyengat hidung merebak dalam rongga paruku. Setengah sadar aku masih
mengerti bagaimana jalan cerita kali ini. Aku dibawa dalam sebuah ruangan
dengan lampu terang dihadapkan padaku. Dokter serta suster dengan pakaian
operasi lengkap plus masker mengamati sumber darah yang bocor di pelipisku. Aku
dipakaikan alat – alat yang entah apa namanya yang diharapkan mampu mengikat
ruh pada tubuhku. Dan entah apa lagi semuanya gelap.
Kemudian aku terbangun, tertegun
linglung tak tahu ini ataupun itu. Banyak orang – orang tersenyum saat aku
membuka mata. Seorang lelaki tampan dengan kumis tebalnya mencium pipiku penuh
hangat. Disusul seorang wanita dengan tubuh sedikit gemuk memeluk serta
mengusap pipiku dengan lembut. Namun saat aku mengatakan kalimat pertama, tawa
mereka lenyap dalam sekejap.
“Kalian siapa?”
“Kalian siapa?”
Sesuatu
yang ku ingin itu terjadi .